Untuk mengantisipasi meningkatnya jumlah penggunaan narkoba di
kalangan pelajar Polda Metro Jaya bekerja sama dengan Dinas Pendidikan
DKI Jakarta berencana untuk memasukkan mata pelajaran narkoba ke dalam
kurikulum. Direktur Narkoba Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Pol.
Anjan P Putra berkata “Jelas pelajar SMP dan SMA tercatat pengguna
narkoba tertinggi, sedangkan murid SD sedikit sekali,” Jumat (4/6) di
Jakarta.
Kerjasama meliputi pelatihan guru Bimbingan Konseling
menjadi penyuluh pencegahan, pemberantasan, penyalahgunaan dan
peredaran gelap dan narkoba di lingkungan sekolah.
Ia menambahkan
pihak kepolisian sudah menyiapkan instruktur pelatihan terhadap guru
sebanyak 20 orang terdiri dari Polda Metro Jaya, Badan Narkotika
Nasional, konselor, mantan pecandu dari panti rehabilitasi, dokter dan
psikologi.
Rencananya pelatihan guru itu berlangsung selama satu
bulan sejak 4 hingga 26 Juni 2010 setiap Jumat dan Sabtu. Sementara
itu, Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta, Taufik Yudi Mulyanto
mengatakan program pengenalan narkoba sejak dini strategis karena
mengancam para pelajar.
“Dengan adanya pelajaran ini maka dapat
menyelamatkan generasi mendatang,” ujar Taufik. Taufik menyebutkan
jumlah murid taman kanak-kanak hingga SMA/SMK di Jakarta mencapai 1,6
juta dan mahasiswa perguruan tinggi sekitar 400.000 orang.
Wakil
Kepala Polda Metro Jaya Brigjen Putu Eko Bayu Seno mengatakan
penandatangan nota kesepahaman dalam rangka membangun ketahanan siswa
untuk peredaran gelap narkoba dan upaya antisipasi.
Putu
menyatakan polisi tidak bisa bekerja sendiri untuk memerangi penggunaan
narkoba sehingga membutuhkan instansi terkait lainnya seperti melalui
bantuan tenaga pengajar untuk menyampaikan kepada para pelajar.
Pencegahan
penyalahgunaan narkoba harus berawal dari diri kita masing-masing.
Mulai dari hati kita, mulai di rumah tangga kita sendiri.
Tiga hal yang orang tua dapat lakukan adalah sebagi berikut:
Jadilah teladan
Sebuah
studi di Inggris menyimpulkan bahwa orangtua yang mempunyai kebiasaan
menyalahgunakan zat adiktif termasuk minuman keras dan rokok akan
cenderung mempunyai risiko dua kali lipat lebih besar memiliki anak
yang melakukan hal yang sama (Blake at al.,1988).
Kenyataan yang
ditemukan di Indonesia cukup konsisten dengan temuan Blake et al.
tersebut; 44% pecandu mengaku memiliki anggota keluarga yang terlibat
miras dan/atau narkoba (YCAB,2001).
Menjadi contoh dan teladan
bagi anak kita memang tidak mudah. Ini bicara tentang integritas diri
kita sendiri; apa yang kita katakan harus sesuai dengan apa yang kita
sendiri praktikan. Tanpa ini, sosok kita sulit dipandang kredibel oleh
anak.
Ada pepatah: “perbuatlah kepada anak Anda, apa yang Anda
ingin anak Anda perbuat kepada Anda.” Jika Anda tidak ingin anak Anda
merokok, sebaiknya Anda sendiri tidak merokok. Jika Anda ingin anak
Anda tidak memakai narkoba, bicara dan praktikkan hidup sehat tanpa
menggunakan zat adiktif lainnya (seperti rokok, miras, dan lain-lain).
Bicaralah
Membicarakan bahaya narkoba kepada anak bukanlah hal yang mudah, tetapi sangat berharga di mata anak Anda.
Sebuah
survey oleh NIDA (National Institute of Drug Abuse, di AS) di awal
tahun 2000 mengatakan bahwa mayoritas anak kelas 4 dan 5 SD sangat
berharap untuk mendapatkan informasi seputar narkoba, minuman keras dan
seks pertama kalinya dari orangtua mereka. Pada saat orangtua lengah
atau sungkan memenuhi harapan ini, anak akan mencari informasi hal
tersebut dari teman mereka.
Ketika hal itu terjadi, orangtua akan
sangat sulit mengontrol apa yang anak telah ‘pelajari’ dari
teman-temannya. Untuk menekan distorsi informasi, akan sangat baik jika
anak mengetahui bahaya narkoba dari kita, dan bukan dari temannya.
Tapi
masalahnya, banyak orang tua yang justru kekurangan informasi, tidak
tahu apa yang perlu disampaikan ke anak selain mengintimidasi dengan
gambar-gambar atau cerita seram dengan harapan anak menjadi takut.
Kenyataannya, dari berbagai penelitian, pendekatan menggunakan fear
tactic tidak berdampak terhadap pengambilan keputusan anak dalam hal
perilaku berisiko, termasuk narkoba dan seks bebas.
Menurut NIDA
(2002), orangtua yang mengajarkan tentang bahaya narkoba kepada
anak-anaknya dapat mengurangi 36% risiko anak bereksperimen dengan
ganja, 50% risiko menyalahgunakan inhalen, 56% pemakaian kokain dan 65%
LSD dibanding dengan anak yang tidak diajar orangtuanya. Di Indonesia,
penelitian serupa perlu dilakukan.
Ketahui Kecenderungan Faktor Risiko Anak
- Sindroma anak kedua
Data hasil telepon konseling YCAB (1999-2005) menunjukan bahwa sebagian
besar (70%) kasus narkoba yang ditangani, data menunjukan bahwa anak
kedua dalam keluarga lebih rentan terkena narkoba. Kecenderungan ini
didukung oleh teori psikologi sindroma anak kedua yang ditulis oleh
Alfred Adler di tahun 1920an.
- Kecenderungan Gender
Di masa pubertas,
para ahli secara konsisten menemukan bahwa anak laki-laki cenderung
berperilaku lebih agresif sedangkan anak perempuan cenderung lebih
mudah depresi.
Dengan kedua kondisi tersebut maka jika tidak ada
penyertaan keterampilan mengelola tekanan (stress management),
keterampilan mengatasi masalah (coping skills), remaja cenderung mudah
tergoda oleh narkoba.
Menurut berbagai sumber dan kenyataan yang
ada, anak laki-laki cenderung lebih rentan terkena narkoba; lebih dari
80% pecandu adalah laki-laki.
Dalam tiga tahun terakhir ini,
menurut penelitian pada tahun 2005, jumlah remaja putri yang mengaku
mencoba narkoba naik dua kali lipat; di tahun 2002 hanya ada 10% remaja
putri didapati memakai narkoba dan di tahun 2005 kecenderungan ini
ditemukan bertambah menjadi 20%. Remaja putri pun kini perlu diwaspadai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar